A. Pendahuluan
Secara historis-sosiologis, pluralisme agama adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Sesuai dengan sunnatullah semua yang diciptakan di dunia sengaja diciptakan dengan penuh keberagaman, tak terkecuali agama. tidak diturunkannya agama dalam konteks ruang dan waktu serta konsepsi yang sama, tapi dalam penggalan kontinum ruang dan waktu itulah yang telah menjadikan adanya pluralisme agama tersebut.
Kenyataan bahwa pluralisme merupakan suatu keniscayaan (sunnatullah) seharusnya menyadarkan manusia akan adanya berbagai jalan menuju kebenaran mutlak (Tuhan), karena manusia tidak pernah mempunyai hak untuk memutlakkan kebenaran suatu agama , yang itu berarti menafikan agama lain walaupun itu didasarkan pada teks-teks suci agama yang diwahyukan.
Kita cenderung sepakat bahwa agama-agama pada dasarnya mempunyai kesamaan orientasi berupa pelayanan kepada manusia, agar mereka bisa meningkatkan kualitas dan harkat hidupnya demi kesejahteraan bersama. Tetapi dalam realitasnya fenomena dan praktek keagamaan tetap tidak lepas dari interaksi dan akulturasi yang terjadi dalam masyarakat.
Agama bukanlah suatu hypotesa. Dia tidak tidak berada di langit Plato yang sempurna dan suci-murni, sehingga mengantarai Tuhan dan manusia , tetapi selalu dia merupakan Fenomena manusia biasa, dengan daging dan darah. Pergolakan manusia menjadi pergolakan agama, dan unsur keputusan tiap penganut suatu agama serta tindakannya dari waktu ke waktu , bakal menentukan wujud agama tersebut dalam sejarah, bahkan jika kita mengkaji ulang sejarah agama-agama besar, akan terlihat bahwa sejak awal kemunculannya, para pendirinya selalu mengupayakan transformasi sosial sebagai salah satu agendanya. Karena itu salah satu pesan fundamental, bahkan fungsi agama adalah agar pemahaman dan penghayatan nilai-nilai transendental keimananan dalam agama sanggup membimbing manusia untuk untuk menumbuhkan nilai-ni lai luhur pada kehidupan individual maupun sosial kemasyarakatan.
B. Agama dan Konflik
Sekilas, nampak tidak dapat diterima bahwa mereka yang menyatakan iman kepada satu Tuhan atau satu esensi Ilahi tidak dapat memadukan ke dalamnya semangat saling membantu dan melindungi, tapi hal itu benar-benar terjadi dalam sejarah agama-agama. “Tidakkah kita semua berasal dari bapak moyang yang satu? Tidakkah kita diciptakan oleh Tuhan yang satu juga? Mengapa kita kemudian saling tidak mempercayai satu sama lain?”. Demikianlah kata-kata Nabi Malachi (2:10) yang di ulang oleh seorang Rabbi Yahudi beberapa dekade lalu ketika dia menyampaikan ucapan selamat kepada seorang kardinal yang sedang di tahbis, untuk mengingatkan bahwa Keyakinan terhadap satu Tuhan seharusnya membangkitkan dikalangan agama-agama kesadaran akan kebersamaan dalam satu keluarga dan kewajiban untuk berdiri bersama secara persaudaraan.
Orang-orang yang beriman dikalangan agama-agama senantiasa saling bertentangan satu-sama lain, bahkan melibatkan pertarungan berdarah, kemudian memandang rendah pengikut-pengikut agama lain sebagai orang-orang bodoh yang tercela dan harus dipertobatkan dengan cara apapun kepada keimanan dan keagamaan yang benar sebagaimana yang dianutnya. Berapa banyak jumlah jiwa manusia yang telah menjadi korban perang antar agama dan berapa sering penindasan dilakukan terhadap keimanan hati nurani agama lain. Untuk itulah perlu adanya cara yang tepat dalam pemahaman agama yang sesuai dengan mengacu pada fenomena yang dihadapi.
Fenomena yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini sekarang juga mengarah pada hal tersebut, kerusuhan yang terjadi diberbagai pelosok negeri yang pada awalnya bukanlah hal yang bernuansa agama, banyak yang pada akhirnya bermuara pada konflik antar agama. Sebagian orang atau kelompok menjadikan agama –karena pemahaman yang sempit atau kepentingan terselubung—sebagai justifikasi untuk menyerang kelompok lain yang tidak sealiran atau seagama. Masuknya agama –yang dipahami secara sempit dan salah—dalam wilayah konflik memiliki kerawanan amat tinggi. Dengan menggunakan label agama, konflik dan kerusuhan makin mudah berkobar dan menyebar. Pada titik ini ada hubungan erat antara pemahaman agama dan kekerasan politik.
Dalam sejarah manusia agama telah menjadi komoditi konflik. Disatu sisi ia telah mengajarkan umat manusia untuk saling mengasihi satu sama lain. Ia telah banyak berjasa menjadikan manusia mengerti arti dan tujuan hidupnya. Namun, di sisi lain, ia juga digunakan alat untuk membasmi komunitas manusia lain, dengan mengatasnamakan agama. Nilai-nilai suci agama menjadi kabur seiring dengan semakin tumpah ruahnya prilaku destruktif manusia.[6]
C. Agama dan Demokrasi
pada penghujung abad ke-19, lebih-lebih pada pertengahan abad ke-20, terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang “agama” dari yang dahulu terbatas pada dataran “idealitas” ke arah “historisitas”, dari yang hanya berkisar pada “doktrin” ke arah entitas “sosiologis”, dari diskursus “esensi” ke arah “eksistensi”.
Dalam pergaulan dunia yang semakin terbuka dan transparan, orang tidak dapat dipersalahkankan untuk melihat fenomena “agama” secara aspektual, dimensional dan bahkan multi-dimensional approaches. Selain agama memang mempunyai doktrin teologis-normatif, orang dapat pula melihatnya sebagai “tradisi”, sedang tradisi sulit dipisahkan dari faktor “human contruction” yang semula dipengaruhi oleh perjalanan sejarah sosial – ekonomi –politik dan budaya yang amat panjang.
Maka dari itu agama pun tidak terlepas dari konteks sosial budaya yang melingkupinya. Saat ini negara indonesia sedamg beruPaya membangun suatu negara dan bangsa yang demokratis, jika agama dan penganutnya diharapkan bisa memberikan sumbangan bagi tegaknya demokrasi, maka terlebih dahulu nilai dan penghayatan demokrasi haruslah tumbuh subur dalam lingkungan pemeluk agama, termasuk etika berdemokrasi dalam mendialogkan faham agama itu sendiri.
Agama dan demokrasi adalah suatu nilai yang saling terkait, karena meskipun secara ontologis agama dan demokrasi datang dari dunia berbeda, tetapi keduanya teraktualisasikan dalam wilayah yang sama, yakni dunia manusia dengan segala kompleksitasnya, selain itu antara agama dan demokrasi terdapat premis dan komitmen yang sama tentang cita-cita demokrasi dan kemanusiaan.
Dalam konteks pengembangan demokrasi, barangkali sikap yang perlu dikembangkan adalah, masing-masing orang meyakini dan menghayati ajaran agamanya secara benar sehungga dapat mereguk manisnya iman menurut keyakinan masing-masing, dengan tanpa memandang rendah dan menganggap salah agama lain. Tetapi walaupun masing-masing berada dalam “cawan” yang berbeda, refleksi iman mereka diharapkan bisa bertemu dalam semangat yang sama untuk menegakkan nilai dan harkat kemanusiaan melalui tatakrama demokrasi.[11]
Sebenarnya sudah menjadi proposisi yang sangat mapan dalam ilmu politik bahwa mencapai dan memelihara pemerintahan yang demokratis dan stabil dalam suatu masyarakat majemuk itu sulit. Bahkan jauh ke belakang, ke Yunani Kuno, Aristoteles jelah mengatakan bahwa “negara bertujuan untuk mewujudkan diri, sejauh mungkin, menjadi suatu masyarakat yang tediri dari orang-orang yang sama derajat dan para sejawat.” Keseragaman sosial dan konsensus politik dianggap sebagai persyaratan untu, atau faktor yang mendukung bagi, demokrasi yang stabil. Sebaliknya perpecahan dan perbedaan politik yang mendalam dalam masyarakat majemuk dianggap bertanggung jawab untuk ketidakstabilan dan keruntuhan dalam sistem demokratis. Setiap bentuk pengaturan politik yang tangguh dan absah, lebih-lebih lagi yang demokratis, memerlukan suatu ikatan bersama yang antara lain berbentuk kesetian dasar, suatu komitmen pada sesuatu yang lebih menggerakkan perasaan, yang terasa lebih hangat dalam lubuk jiwa daripada sekedar perangkat prosedur, dan yang barangkali malah lebih kuat daripada nilai-nilai demokratis tentang kemerdekaan dan persamaan. Dalam dunia modern, perekat politik itu ialah rasa kebangsaan (nasionalisme).
Selanjutnya bila cita-cita demokrasi dan misi agama adalah pendidikan dan pelayanan pada masyarakat untuk mengaktualisasikan potensi kemanusiannya melalui pranata masyarakat dan negara, maka agama dan demokrasi mestinya saling mengisi. Agama memberikan pedoman moral dan daya imperatif yang bersifat transenden yang datang dari atas, sementara itu merupakan dinamika etis kemanusiaan yang datang dari bawah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar