Apa perbedaan antara pengetahuan dan ilmu? Apa hubungan antara pengetahuan dan ilmu? Inilah pertanyaan pertama ketika kita mencoba memahami apa itu ilmu pengetahuan. Jawaban yang paling umum yang kita dapatkan adalah, ilmu terbedakan dari pengetahuan karena dalam mencari kebenaran ilmu menggunakan langkah-langkah yang sistematik, yang memungkinkan tercapainya hasil yang obyektif, yang mana langkah-langkah tersebut bisa diulang kembali demi membuktikan kebenaran dari hasil pencarian tersebut. Sementara, di sisi yang lain, pengetahuan dianggap hanya menghasilkan kebenaran yang sifatnya subyektif, hipotetikal, dan masih diperlu keobyektifannya melalui serangkain verifikasi yang sesuai dengan standar ilmiah.
Dus, dari common-sense di atas, obyektifitas; metode yang sistematik; dan kualitas yang memungkinkan suatu pengetahuan untuk diverifikasi ulang adalah syarat-syarat utama yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa dikatakan sebagai ilmiah. Tetapi, ada perbedaan pendapat yang cukup tajam tentang ‘obyektifitas’ tersebut. Di satu sisi ada sekelompok pemikiran yang menyatakan bahwa realitas obyektif itu ‘ada di luar sana’ dan untuk mendekatinya harus melalui serangkaian ‘ritual’ yang disebut metode ilmiah. Sementara di sisi yang lain ada sekelompok pemikiran yang menyatakan bahwa realitas obyektif itu sebenarnya adalah suatu intersubyektifitas.
B. Dua Tradisi Besar: Paradigme Positivisme dan Anti-positivisme
Di atas telah dikemukakan bagaiman pemahaman tentang ‘obyektifitas telah memunculkan dua kelompok besar pemikiran dalam ilmu sosial. Kelompok pemikiran yang pertama sering dikelompokan dalam kelompok paradigma positifis, sementara kelompok yang kedua dikelompokan dalam kelompok paradigma antipositifis. Dua kelompok ini mewakili dua tradisi besar dalam diskursus ilmu sosial, yang perdebatannya masih berlangsung sampai sekarang.
Dalam kelompok paradigma positifis, realitas sosial ‘ada di luar sana’ dan bisa ditangkap keberadaan fisiknya, sehingga bisa diobservasi. Sementara di sisi yang lain kelompok paradigma anti-positifis memandang bahwa realitas sosial muncul dalam kesadaran manusia, bersifat nyata tetapi tidak selalu memiliki keberadaan fisik yang bisa ditangkap, meskipun bisa dirasakan.
Salah satu bentuk contoh yang ekstrim dari paradigma positifis adalah pandangan realism naïf yang memandang bahwa persepsi kita mempunyai kesadaran yang bersifat langsung terhadap obyek-obyek lain. Obyek ini diasumsikan bersifat umum dan tetap, sehingga ditangkap secara sama oleh setiap orang, dimanapun, dan kapanpun. Obyek ini
Poin penting dalam kuliah ini:
• Realitas Obyektif Vs Realitas Subyektif
10
bersifat permanen, yang mana diartikan bahwa kehadiran pengamat tidak sedikitpun memberikan pengaruh apapun kepada obyek ini sebagai yang diamati.1
Sebaliknya, berbagai perspektif yang termasuk dalam kelompok paradigma anti-positifis cenderung melihat selalu ada jarakan antara pengamat dan yang diamati. Persepsi terhadap obyek terbentuk melalui tafsir, dan tafsir terhadap obyek ketika diterima oleh semakin banyak orang maka persepsi terhadap obyek yang diamati tersebut bukanlah sebuah obyektifitas, tetapi intersubyektifitas.
Tetapi patut diingat bahwa distingsi yang dikemukakan di sini, pada kenyataannya tidaklah setegas seperti yang kita kira. Banyak perpotongan antara kelompok paradigma positifis dan kelompok paradigma anti-positifis. Akan menarik jika kita lihat klasifikasi paradigma dan metode penelitian yang dibuat oleh Habermas berikut ini:
Kuantitatif
Kualitatif
Statisik (Survei, Polling, Quick Count, Imndexing)
Etnografi (?), Grounded Research, ClinicalResearch
Positivisme
Content Analysis
Instrumental
Post-Positivisme
Etnometodologi
Interpretif
Konstruktivisme
Fenomenologi
(Neo) Marxisme
Feminisme
Cltural Studies
Kritis
Teori Kritis
(Frankfurt School)
Etnografi (?), Critical Ethnography, Partisipatory Action Reseacrh, Studi Kasus, Comparative Case Study, Discourse Analysis, Framming Analysis, Biografi, Historiografi, Semiotik, Hermeneutik
Ethnic Modelling
Sumber:…
Dari klasifikasi Habermasi tersebut, kita bisa melihat perpotongan tidak hanya antara kelompok paradigma positivisme dan anti-positivisme, misal dalam metode penelitian ‘Etnografi’, tetapi juga antara metode penelitian kualitatif dan kuantitatif, seperti dalam metode penelitan ‘Content-Analysis’. (Pembahasan lebih detil tentang
1 Galagher, Kenneth T., “Epistemologi: Filsafat Pengetahuan,” Dr. P. Hardono Hardi terj., Kanisius, Yogyakarta. Bab V, ‘Obyektifitas’ hal. 70. 11
paradigma dan metodologi akan dilakukan di mata kuliah lain yang dirancang sebagai pendalaman dari mata kuliah Ilmu Sosial Dasar ini. Lih
Dus, dari common-sense di atas, obyektifitas; metode yang sistematik; dan kualitas yang memungkinkan suatu pengetahuan untuk diverifikasi ulang adalah syarat-syarat utama yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa dikatakan sebagai ilmiah. Tetapi, ada perbedaan pendapat yang cukup tajam tentang ‘obyektifitas’ tersebut. Di satu sisi ada sekelompok pemikiran yang menyatakan bahwa realitas obyektif itu ‘ada di luar sana’ dan untuk mendekatinya harus melalui serangkaian ‘ritual’ yang disebut metode ilmiah. Sementara di sisi yang lain ada sekelompok pemikiran yang menyatakan bahwa realitas obyektif itu sebenarnya adalah suatu intersubyektifitas.
B. Dua Tradisi Besar: Paradigme Positivisme dan Anti-positivisme
Di atas telah dikemukakan bagaiman pemahaman tentang ‘obyektifitas telah memunculkan dua kelompok besar pemikiran dalam ilmu sosial. Kelompok pemikiran yang pertama sering dikelompokan dalam kelompok paradigma positifis, sementara kelompok yang kedua dikelompokan dalam kelompok paradigma antipositifis. Dua kelompok ini mewakili dua tradisi besar dalam diskursus ilmu sosial, yang perdebatannya masih berlangsung sampai sekarang.
Dalam kelompok paradigma positifis, realitas sosial ‘ada di luar sana’ dan bisa ditangkap keberadaan fisiknya, sehingga bisa diobservasi. Sementara di sisi yang lain kelompok paradigma anti-positifis memandang bahwa realitas sosial muncul dalam kesadaran manusia, bersifat nyata tetapi tidak selalu memiliki keberadaan fisik yang bisa ditangkap, meskipun bisa dirasakan.
Salah satu bentuk contoh yang ekstrim dari paradigma positifis adalah pandangan realism naïf yang memandang bahwa persepsi kita mempunyai kesadaran yang bersifat langsung terhadap obyek-obyek lain. Obyek ini diasumsikan bersifat umum dan tetap, sehingga ditangkap secara sama oleh setiap orang, dimanapun, dan kapanpun. Obyek ini
Poin penting dalam kuliah ini:
• Realitas Obyektif Vs Realitas Subyektif
10
bersifat permanen, yang mana diartikan bahwa kehadiran pengamat tidak sedikitpun memberikan pengaruh apapun kepada obyek ini sebagai yang diamati.1
Sebaliknya, berbagai perspektif yang termasuk dalam kelompok paradigma anti-positifis cenderung melihat selalu ada jarakan antara pengamat dan yang diamati. Persepsi terhadap obyek terbentuk melalui tafsir, dan tafsir terhadap obyek ketika diterima oleh semakin banyak orang maka persepsi terhadap obyek yang diamati tersebut bukanlah sebuah obyektifitas, tetapi intersubyektifitas.
Tetapi patut diingat bahwa distingsi yang dikemukakan di sini, pada kenyataannya tidaklah setegas seperti yang kita kira. Banyak perpotongan antara kelompok paradigma positifis dan kelompok paradigma anti-positifis. Akan menarik jika kita lihat klasifikasi paradigma dan metode penelitian yang dibuat oleh Habermas berikut ini:
Kuantitatif
Kualitatif
Statisik (Survei, Polling, Quick Count, Imndexing)
Etnografi (?), Grounded Research, ClinicalResearch
Positivisme
Content Analysis
Instrumental
Post-Positivisme
Etnometodologi
Interpretif
Konstruktivisme
Fenomenologi
(Neo) Marxisme
Feminisme
Cltural Studies
Kritis
Teori Kritis
(Frankfurt School)
Etnografi (?), Critical Ethnography, Partisipatory Action Reseacrh, Studi Kasus, Comparative Case Study, Discourse Analysis, Framming Analysis, Biografi, Historiografi, Semiotik, Hermeneutik
Ethnic Modelling
Sumber:…
Dari klasifikasi Habermasi tersebut, kita bisa melihat perpotongan tidak hanya antara kelompok paradigma positivisme dan anti-positivisme, misal dalam metode penelitian ‘Etnografi’, tetapi juga antara metode penelitian kualitatif dan kuantitatif, seperti dalam metode penelitan ‘Content-Analysis’. (Pembahasan lebih detil tentang
1 Galagher, Kenneth T., “Epistemologi: Filsafat Pengetahuan,” Dr. P. Hardono Hardi terj., Kanisius, Yogyakarta. Bab V, ‘Obyektifitas’ hal. 70. 11
paradigma dan metodologi akan dilakukan di mata kuliah lain yang dirancang sebagai pendalaman dari mata kuliah Ilmu Sosial Dasar ini. Lih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar